sekedar karangan

Senin, 18 November 2013



               
Indahnya Kebersamaan Dalam Kesederhanaan Keluarga

Disaat mentari mulai terbangun dari singgasananya, Danis masih terlelap di atas lincak yang ia sebut sebagai tempat tidurnya. Walau hanya dengan selimut tipis dan bantal kecil namun dirasa cukup untuk menemaninya menghabiskan malam yang panjang. “ Nduk, bangun hari sudah siang”, terdengar suara Ibu mencoba membangunkan Danis. Sedangkan Danis hanya menggeliat-liatkan badannya yang masih pegal karena terlalu lama tidur. “ Ini jam berapa to bu? Danis masih ngantuk, lagian kan ini hari Minggu to buk’e? Danis kan libur”, jawab Danis dengan nada agak malas. “ Ya memang ini hari Minggu, tapi kamu ini anak perempuan nduk jadi ndak pantas kalau bangun kesiangan. Lagi pula ini sudah jam setengan enam pagi, sudah cepetan kamu bangun, sholat setelah itu mandi. Ya ?” Saran Ibu kapada Danis. “ Inggih bu , Danis bangun sekarang”, jawab Danis menuruti nasihat Ibunya. Sesegera mungkin Danis mengambil air wudhu kemudian sholat. Setelah itu ia mencari handuk kecil untuk ia gunakan mandi.
            Seperti biasa di pagi yang cerah seperti hari ini suasana di Desa Ngalian, tempat dimana Danis  dan Keluarganya tinggal tampak ramai akan kicau burung-burung yang bersenandung indah. Selain itu juga banyak warga desa yang sibuk dengan pekerjaan mereka sehari-hari, seperti mengolah sawah, mengurus kebun, dan membersihkan rumah masing-masing. “ Sudah mandi nduk?” Tanya Ibu kepada Danis. “Sampun ibuk’e, orang sudah cantik begini kok, hehe..”, jawab Danis dengan sedikit gurauan. “Iyo-iyo, anak’e ibu kan paling cantik sendiri”, kata Ibu membalas gurauan Danis. “Ayo sekarang kita semua sarapan ya?” Ajak Ayah kepada Ibu, Danis, dan Zaro, adik Danis. Suasana sarapan itu terasa hangat, meskipun hanya dengan nasi dan lauk seadanya dan beralaskan tikar tipis tetapi yang paling penting semua itu dilakukan bersama dengan keluarga. Meskipun Danis dan keluarganya hidup dalam kesederhanaan tetapi Danis cukup bahagia karena bisa menjalani kehidupan dengan penuh kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. “ Hari ini Ibu mau pergi ke Pasar, siapa mau ikut ?” Tanya Ibu kepada anak-anaknya. “ Memangnya mau beli apa bu di Pasar ?” Tanya Danis pada Ibunya. “Ibu mau beli jajanan pasar, buah-buahan, dan juga sayuran nduk”, jawab Ibu. “Mau ada acara apa to bu ?” Danis kembali bertanya pada Ibunya. “Nanti sore itu ada acara Merti Desa, memangnya kamu belum pernah dengar apa nduk acara yang seperti itu ?” Jawab Ibu. “Kalau dengar sudah pernah bu, tapi Danis ndak tau Merti Desa itu apa ?” Balas Danis. “Ya sudah kalau kamu memang benar-benar tidak tahu biar Ibu jelaskan ya. Begini, Merti Desa itu adalah sebuah adat istiadat  warga desa ini nduk, acara ini dilaksanakan sebagai rasa syukur para Petani karena telah diberi hasil panen yang melimpah ruah oleh Sang Khalik di tahun yang penuh berkah ini. Biasanya selain ada acara Merti Desa seperti  ini juga ada sebagian kecil warga desa yang mengadakan tontonan wayang dengan lakon Dewi Sri”. Jelas Ibu kepada Danis. “ Kok ada lakon Dewi Sri segala sih bu ? Apa lagi itu ?” Tanya Danis penasaran. “ Di dalam pewayangan Dewi Sri itu dilambangkan sebagai Dewi Padi sekaligus Dewi Kemakmuran. Kalau dalam bahasa jawanya bisa diartikan dengan Lakon Sri Mulih, maksudnya adalah Dewi Sri mulih atau pulang dengan membawa padi sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Sekarang sudah tahu kan kamu nduk , apa itu Merti Desa dan Lakon Dewi Sri”. Jelas Ibu dengan sedikit pertanyaan. “ O iya bu, sekarang sudah jelas semuanya”. Jawab Danis. “ Ya kalau kamu ingin lebih jelas lagi kamu bisa Tanya kepada Guru Bahasa Jawa mu ya ?” Tambah Ibu. “ Iya bu , siap 86 !hehehe..”, balas Danis dengan nada penuh semangat. “Sekarang cepat habiskan dulu sarapan mu, setelah itu kita pergi ke Pasar ya ?” Jelas Ibu. “ Maaf ya bu, Ayah ndak bisa ngantar Ibu ke Pasar. Tadi Bapak-Bapak meminta Ayah membantu gotong-royong membersihkan jalanan yang sebelah barat desa itu”. Kata Ayah kepada Ibu. “ Ndak papa kok yah, nanti Ibu dan Danis ke Pasar naik becak saja, Ibu sudah lama ndak naik becak ini”, Kata Ibu dengan penuh pengertian. “ Naik becak bu ? Wah asik itu bu”. Sahut Danis dengan penuh keceriaan. “ Iya nanti kita naik becak saja nduk, supaya bisa menikmati keindahan alam”, tambah Ibu. “ Bu, kalau Ibu pergi ke Pasar dengan Kakak, Ayah gotong-royong, Adik di rumah dengan siapa bu?” Keluh Zaro, adik Danis. “Ya kamu ikut Ayah gotong-royong saja le, atau kamu main ke tempat teman-teman mu di desa sebelah”. Jawab Ibu. “Kalau boleh main Adik mau ke tempat Bagas saja ya bu di desa sebelah. Kemarin dia ngajak Adik main congklak, benthik, dan egrang di rumahnya”. Kata Adik. “Iya boleh le, asal  jangan lupa waktu. Nanti kalau sudah capek, pulang makan dulu ya ?” Tambah Ibu. “ Oke Bunda ! hehehe..”, jawab Adik.
            Setelah berbincang-bincang sebentar Ibu dan Danis memutuskan untuk segera pergi ke Pasar karena hari sudah mulai siang. “Ayo nduk, gek mangkat ndak selak awan iki !” Ajak Ibu kepada Danis. “Iyo ayo buk’e”. Jawab Danis. Ibu dan Danis bergegas menuju pangkalan becak. Setelah mendapatkan Tukang Becak, mereka pun naik dan menikmati perjalanan naik becak menuju Pasar. Di sepanjang perjalanan mereka melihat pemandangan yang sungguh memukau mata. Di sebelah kiri terdapat hamparan padi yang menguning, hamparan padi seakan melambai-lambai minta untuk segera dipanen. Di sebelah kanan ada Gunung yang gagah menjulang tinggi, Merapi sebutan warga desa setempat kepada gunung tersebut. Suasana di sini masih sangat kental dengan nuansa pedesaannya, bising kendaraan bermotor hampir tak terdengar sama sekali, udaranya pun masih fresh, alami dan belum tercemar. Tidak seperti di kota-kota yang penuh dengan kemacetan, banyak kendaraan bermotor sehingga polusi udara dimana-mana. Jarang sekali kita mendapati tempat di Jakarta yang bebas dari polusi. Keadaan di kota sangat jauh berbeda dengan keadaan di desa yang penuh dengan keasrian. Tak terasa perjalanan pun berakhir, Ibu dan Danis telah sampai di Pasar. “Sampun dugi bu”, Kata Tukang Becak mencoba memberi tahu bahwa mereka sudah sampai Pasar. “O nggih, pinten Pak?” Tanya Ibu kepada Tukang Becak. “Sedasa mawon bu”. Kata Tukang Becak. “Niki Pak, mangga”, Kata Ibu. “Matur suwun Bu”, Jawab Tukang Becak.  “Sami-sami Pak”.
            Setelah selesai belanja di Pasar, Ibu dan Danis segera pulang ke rumah. Kemudian mereka segera memulai pekerjaan, mereka memasak makanan yang akan digunakan untuk acara Merti Desa. Suasana di keluarga kecil mereka terasa begitu hangat. Meski hidup dalam keluarga yang sederhana tetapi mereka tetap menikmati kehidupan mereka, tak pernah ada kata mengeluh keluar dari mulut mereka. Sepahit apapun itu tetap jalani hidup ini dengan senyuman.

           

0 komentar:

Posting Komentar