Resensi Novel Lama

Senin, 18 November 2013



IdentitasBuku

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLb-FYP33ss30xGS05pvFLqlyd-_b4bTFZyNS-YYIf2EoY4B-Lzv3onwMSM2yCGyzkKF39diFtMMInYEIRvfrHXI_lS8_BOUPLMzVbpw1aqZXwijvtbc4pZ_dVPhSCszDyYl-fkCbvYfM/s1600/6056022.jpgJudul Buku        :    Katak Hendak Jadi Lembu
Pengarang         :    Nur Sultan Iskandar
Penerbit            :    Balai Pustaka, Jakarta
Terbit                :    1997
Terdiridari         :    15 Bab
Cetakan            :    ke-13         
Tebal buku        :    162 dan x halaman
Panjangbuku     :    21 cm
Lebarbuku        :    15 cm 
Nomor ISBN    :    979-407-158-7

Kepengarangan :
Nur  Sutan Iskandar ketika kecil bernama Muhammad Nur dan setelah beristri diberi gelar Sutan Iskandar. Ini sesuai dengan adat Minangkabau dari mana pengarang berasal.
Pujangga yang telah menulis tak kurang dari 80 judul buku ini lahir di Sungaibatang, Maninjau, tanggal 3 November 1893. Setelah mengalami pendidikan pada sekolah Melayu, ia diangkat jadi guru. Selama mengajar itulah ia belajar sendiri dari buku-buku terutama tentang bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Dalam bidang karang-mengarang ia pun kerap menulis membantu surat-surat kabar di Padang.
Ketika pindah ke Balai Pustaka mula-mula ia bekerja sebagai korektor, kemudian berturut-turut diangkat menjadi redaktur dan kepala redaktur.
Cipta sastranya mula-mula terbir berjudul Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1992). Kemudian terbit lagi berturut-turut, antra lain Cinta Yang Membawa Maut (BP-1926), Neraka Dunia (BP-1938), dan Mutiara (BP-1946).
Selain menampilkan karya-karya sastra ia juga menulis buku bacaan untuk pelajar SD,SMP, dan SMA. Selain itu juga karya terjemahannya seperti Tiga Orang Panglima Perang karya Alex.
Sebagai pejuang, beliau dianugerahi tanda kehormatan oleh Departemen Sosial berupa Perintis Kemerdekaan. Dalam lapangan kebudayaan beliau dianugerahi Satyalencana tanggal 20 Mei 1961.


Sinopsis :
            Jika hati dikemudikan kehendak,
            Bahagia hilang haram terasa,
Awal dikenang akhir tidak,
Alamat badan akan binasa.

            Begitulah sebait pantun penulis yang mencoba memberikan kesan moral kepada pembaca lewat karangannya “Katak Hendak Jadi Lembu”. Walaupun di sana-sini orang mengeluh, mengerang-ngerang karena kesulitan hidup, tetapi si Katak tak lain niatnya melainkan hendak melebihi si Lembu yang jauh lebih besar dan kuat daripadanya.
Cerita roman yang di karang Nur Sutan Iskandar pada tahun 1935 ini menggambarkan kegelisahan rakyat melihat keadaan yang amat buruk ketika kekacauan ekonomi di Eropa terasa jua hebat di tanah air kita Indonesia. Banyak orang diperhentikan dari jawatannya, jumlah pegawai disusuti benar-benar, seakan-akan tertutup pintu bagi pemuda dan pemudi tamatan sekolah. Sejak dari sekolah rendah sampai kepada sekolah tinggi, akan mencari rezeki dengan tangkai pena di kantor-kantor.
Berawal dari keraguan namun ternyata istimewa pula sesudah keluar. Seorang pujangga dan ahli bahasa di Eropa, Dr. Teeuwterkesima dengan buku ini, katanya, ” Lain daripada mengandung segala kebaikan karangan-karangan Iskandar, juga tentang komposisi dan psikologi, buku itu pun mempunyai kebaikan-kebaikan yang menurut perasaan saya membuatnya jadi karangannya yang terbagus.”
            “Katak Hendak Jadi Lembu” adalah cerita sastra klasik yang mengandung nilai-nilai kehidupan dari sepasang suami istri bernama Raden Suria dan istrinya Zubaidah. Buku ini menceritakan tentang kehidupan Suria yang hanya bekerja sebagai mantri kabupaten tetapi bertingkah bagai orang yang paling berkuasa di daerahnya layaknya seekor katak yang ingin berubah menjadi lembu sangat sesuai dengan judul buku tersebut.
Buku ini, menggunakan alur maju mundur atau campuran karena awalnya pengarang mengenalkan situasi dan tokoh cerita, lalu kembali menceritakan kejadian masa lalu ketika Suria dijodohkan dengan Zubaidah, kemudian kembali memaparkan cerita yang menuju konflik. Sehingga digunakannya alur maju mundur ini, memudahkan pembaca untuk mengetahui awal penyebab konflik sebelum mengetahui konflik yang terjadi. Sedangkan akhir dari cerita ini adalah Suria yang pergi dan tak kembali setelah di usir Abdulhalim, anak pertamanya. Adapun tokoh utama cerits ini adalah Zubaidah sebagai istri Suria dengan watak protagonis memiliki sifat yang sabar, patuh terhadap suami dan sangat menyayangi ketiga anaknya Abdulhalim, Saleh dan Enah. Sedangkan suami Zubaidah (Suria) dengan watak antagonis memilki sifat sombong, tinggi hati dan tidak layak ditiru oleh pembaca itu semakin menambah kehebatan isi cerita.
Meski buku ini dikarang oleh pengarang yang berasal dari daerah Minangkabau, akan tetapi pengarang mampu menulis cerita yang kuat dengan menghadirkan latar tempat dan latar sosial masyarakat Pasundan, Jawa Barat. Hal ini dibuktikan bahwa pengarang menceritakan adat yang berlaku di Pasundan bahwa seorang anak gadis harus bersedia menikah dengan seseorang pilihan orang tuanya bukan kehendak dirinya sendiri. Selain itu pengarang terlihat piawai memainkan bahasa Sunda seperti “kabodoan” berarti tertipu, ”ngigel” berarti menari, ”semah” berarti tamu dan juga bahasa Belanda seperti “binnelandsch bestuur” berarti pemerintahan dalam negeri, dan “hulpschrijver” berarti juru tulis pembantu.
 Pasundan sebagai latar tempat yang digunakan dalam novel ini menjadi saksi bisu kesedihan, kekesalan, ketegangan dan keharuan yang selalu menghiasi cerita. Hal ini dibuktikan ketika Zubaidah menangis memohon agar suaminya, Suria tidak lagi boros terhadap keuangan rumah tangga. Suasana keharuan ketika Suria diusir oleh anaknya, Abdulhalim karena tabiatnya yang buruk kemudian Suria pergi dan tak kembali.
 Cerita roman ini menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu karena tidak adanya penggunaan kata “aku” dalam menceritakan kejadian demi kejadian.
Kekurangan :
            Kekurangan buku ini adalah gambar sampul yang terkesan sederhana dan terlihat seram sehingga tidak menarik untuk dibaca.Bahasanya tidak mudah untuk dimengerti. Akhir cerita terkesan menggantung karena saat diceritakaan bahwa Suria pergi tidak dijelaskan secara pasti kemana arah tujuan perginya Suria. Pada buku tidak dituliskan tahun berapa cetakan pertama terbit.
Kelebihan :
            Kelebihan buku ini yaitu, banyak mengandung amanat seperti kita tidak boleh sombong dan tinggi hati, tidak boleh boros, kita tidak boleh menambah beban kedua orang tua ketika telah menikah, kita jangan sampai diperbudak oleh harta dan jabatan, karena semua yang kita miliki di dunia ini hanya “teman dikala hidup dan musuh dikala mati” artinya semua ini hanya titipan Tuhan Yang Maha Esa.
Dapat disimpulkan bahwa buku ini layak dibaca oleh orang dewasa dan remaja sedangkan untuk anak-anak kurang tepatkarena buku ini menggunakan bahasa yang baku dan sulit untuk dimengerti oleh anak-anak.


           

1 komentar:

Putri Baidah mengatakan...

kak, izin copas boleh kak? :)

Posting Komentar